Sabtu, 11 Februari 2012

cuaca buruk

nelayan di pelabuhan perikanan samudera kendari tidak melaut selam 2 minggu ini diakibatkan cuaca buruk yg melanda didaerah pelayaran seperti di laut banda dan laut maluku.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Kamis, 02 Februari 2012

PENENTUAN FISHING GROUND TUNA DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

Sumberdaya Ikan Tuna( Thunnus sp.)
Tuna adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol(schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km per jam. Kemampuan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis yang cukup luas), termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya.
Jenis tuna menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenis tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur tetapi dipengaruhi oleh garis lintang. Di samudera Hindia dan Atlantik menyebar di antara 400 LU  dan 400 LS (Collete dan Nauen, 1983). Khususnya di Indonesia (Uktolseja et al., 1991), tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar.
Distribusi ikan tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis(genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku(behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Kedalaman renang tuna bervariasi tergantung dari jenisnya. Umumnya tuna dapat tertangkap di kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang disukai berkisar antara 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17 -31 o C.
Madidihang ( Thunnus Albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang Madidihang bisa sampai 2 meter (Uktolseja et al., 1991). Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu berkisar antara 17-310 C dengan suhu optimum berkisar antara 19-230 C (Nontji, 1987), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20-280 C (Uda, 1952 vide Laevastu dan Hela, 1970).
Tuna mata besar (Thunnus obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulau-pulau di Indonesia  sampai di Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan sebelah selatan jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan laut Maluku. Menurut Uda (1952) dalam Laevastu dan Hela (1970), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11-280 C dengan kisaran suhu penangkapan antara 18-230 C.
Sebaran tuna Albakora(Thunnus Alalunga) sangat dipengaruhi oleh suhu. Jenis ini menyenangi suhu yang lebih rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif kecil dibanding dengan dua jenis tuna di atas. Tuna sirip biru(Thunnus maccoyi) didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan. Oleh karena itu jenis ini sering disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.
1.2. Penentuan Fishing Ground Tuna
Penentuan daerah penangkapan ikan tuna menggunakan data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika, kimia, dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air(up-welling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di suatu perairan. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan  atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schooling) ikan tuna berdasarkan koordinat lintang dan bujur.
Satelit NOAA merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. Sensor utama satelit NOAA adalah AVHRR(Advance Very High Resolution Radiometer) untuk pengamatan lingkungan dan cuaca yang dapat memberi informasi kelautan, seperti suhu permukaan laut yang berguna dalam mendeteksi keberadaan ikan( Hasyim, 1993). Sedangkan data yang diperoleh dari SeaWiFs adalah data klorofil atau zat hijau daun. Data ini digunakan untuk mendeteksi front yang dapat dijadikan indikasi bahwa daerah tersebut diduga tempat berkumpulnya ikan tuna. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan mendeteksi lokasi yang banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau saja (Hasyim, 1993).
Sugimoto dan Tameishi (1992) melakukan penelitian tentang daerah penangkapan ikan tuna menyatakan bahwa massa air hangat yang bertemu dengan massa angin dingin yang dibawa arus menjadi perangkap dengan suhu 22-23 0 C. Ikan tuna sirip biru (bluefin tuna) dan madidihang (yellowfin tuna) memanfaatkan cicin air hangat dengan suhu sekitar 19 0 C dalam ruayanya. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna sangat penting untuk menginterpretasikan citra satelit yang digunakan dalam pembuatan sebuah peta fishing ground tuna.
Penetuan posisi dapat dilihat dari terjadinya front dan upwelling. Front yaitu pertemuan antara dua massa air yang mempunyai karakteristik yang berbeda, baik temperatur maupun salinitas. Seperti pertemuan antara massa air laut jawa yang lebih panas dengan massa air dari Samudera Hindia yang lebih dingin. Front yang terbentuk mempunyai produktivitas karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan feeding ground bagi jenis ikan pelagis, selain itu pertemuan massa air yang berbeda merupakan perangkap bagi migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar, hal ini menyebabkan daerah front merupakan fishing ground yang baik. Sedangkan upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993).

Kenapa Nelayan Tidak Melaut Ketika Bulan Purnama




Bulan  purnama nelayan jarang atau tidak melaut karena terkait hasil tangkapannya yang kecil atau dapat dikatakan "sepi". Hal ini terkait dengan migrasi ikan, ikan laut  tipe nokturnal (aktif mencari makan malam hari) yang cenderung bermigrasi secara diurnal(migrasi berdasarkan perubahan siang dan malam) akan cenderung berada di perairan yang lebih dalam untuk menghindari cahaya terang bulan(fototaksis negatif) untuk menjauh dari predatornya. Sehingga nelayan akan kesulitan menemukan ikan atau gerombolan ikan di daerah dekat permukaan yang dapat dijangkau oleh jaring atau alat tangkap mereka. Jenis ikan laut yang pelagis(seperti ikan kembung, cakalang, tengiri, tongkol, dll) akan cenderung mengikuti kelompok mereka dalam mencari makan atau untuk memudahkan dalam menghindar dari predatornya (bergerombol atau Schooling), sedangkan ikan demersal( seperti pari, cucut, kerapu dll) lebih bersifat soliter atau sendiri-sendiri. 

Solusinya, diperlukan alat tangkap yang lebih modern atau yang dirancang khusus untuk perairan dalam dan nelayan perlu alat bantu seperti fish finder dan map sounder untuk mempermudah dalam penentuan gerombolan ikan, tetapi kendalanya alat-alat tersebut relatif mahal untuk dibeli oleh nelayan kecil, akibatnya banyak nelayan kecil yang tidak melaut atau "Nganggur". Oleh karena itu, diperlukan inisiatif pemerintah dalam membantu nelayan kecil agar tetap dapat melaut atau diberikan keterampilan pada nelayan untuk mengisi waktunya dalam menghasilkan pendapatan untuk hidup sambil menunggu waktu untuk siap melaut.  

PENTINGNYA PERALATAN AKUSTIK BAGI NELAYAN


Keberhasilan dalam operasi pengkapan ikan tidak hanya ditentukan oleh alat tangkap, kapal, dan nelayan itu sendiri. Akan tetapi  juga diperlukan alat-alat bantu instrumentasi kelautan, seperti alat akustik untuk membantu penentuan lokasi daerah penangkapan yang tepat dan alat navigasi untuk penentuan arah pelayaran agar tepat sasaran.
Teknologi akustik bawah air atau hidroakustik adalah metode yang efektif dan bermanfaat bagi eksplorasi di bidang kelautan dan perikanan. Hidroakustik ini terdiri dari pengukuran, analisis, dan interpretasi dari signal yang dipantulkan oleh objek atau scattering dari target yang dikenai gelombang akustik dari tranduser atau alat hidroakustik, objek tersebut dapat berupa misalnya ikan, plankton, dan substrat dasar perairan. Sebagai contoh dalam perikanan, penggunaan echosounder(seperti fish finder) sangat berguna dan efesien dalam penentuan lokasi daerah penangkapan ikan di laut, penentu kedalaman perairan, posisi kedalaman ikan, dan lain-lain.  Selain itu juga diperlukan alat bantu navigasi untuk menentukan arah pelayaran atau lokasi yang ingin dicapai, seperti GPS(Global Positioning System ) dan kompas.
Alat akustik dan navigasi merupakan peralatan pendukung kegiatan penangkapan ikan yang tidak semua nelayan memakainya, karena selain harganya yang cukup mahal bagi nelayan kecil dan juga membutuhkan ketrampilan untuk mengoperasikannya. Oleh karena itu, informasi mengenai variasi peralatan kapal nelayan di pelabuhan terutama peralatan akustik dan navigasi yang dipakai oleh nelayan di Pelabuhan  sangat dibutuhkan untuk mengetahui seberapa jauh penyerapan dan penggunaan instrumentasi kelautan dalam operasi penangkapan ikan oleh nelayan.

PENGERTIAN DASAR DAN CARA KERJA AKUSTIK


- Akustik                 :        Teori gel. suara dan perambatannya dalam suatu medium.
          -Akustik kelautanMarine Acoustics”     :       Teori gel. suara dan perambatannya dalam medium air laut. 
         - Gelombang suara   :  gejala yang disebarkan oleh perubahan tekanan
—    partikel-partikel padat, tekanan udara bertambah, partikel-partikel jarang, tekanan berkurang.
—   Perubahan tekanan dalam perambatan suara secara periodik yang menghasilkan
      siklus dalam satuan waktu tertentu dikenal dengan Frekuensi suara
     (f) dalam Hertz, Hz

           Sehingga akustik kelautan merupakan bagian dari instrumentasi kelautan yang digunakan untuk mendeteksi benda, biota laut, ataupun lapisan sedimen yang berada di dasar lautan yang secara umum terbagi dalam sistem SONAR dan ECHOSOUNDER. Sistem Sonar memancarkan gelombang suara secara horizontal sehingga dapat mendeteksi misalnya benda-benda yang berada di depan kapal ataupun di belakang kapal. sedangkan Echosounder memancarkan gelombang suara secara vertikal sehingga dalam aplikasinya sering digunakan untuk mendeteksi keberadaan ikan atau benda-benda yang berada di bawah kapal. 

 Komponen Echosounder




 Keunggulan Metode Akustik
  Berkecepatan tinggi (great speed), àquick assessment method” ----- manual
  Estimasi stok ikan secara langsung (direct estimation) ----- tanpa analisis parameter lingkungan
  Memungkinkan memperoleh dan memproses data secara real time
  Akurasi dan ketepatan tinggi (accuracy and precision).
  Tidak berbahaya atau merusak ----- tidak menyentuh objek
  Bisa digunakan jika metode lain tidak bisa / tidak mungkin dilakukan.

Penerepan Teknologi Akustik
 
Di bidang kelautan penerapan teknologi akustik bawah air  misalnya untuk eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya non-hayati seperti :
  Pengukuran kedalaman dasar laut (Bathymetry)
  Pengidentifikasian jenis-jenis lapisan sedimen dasar laut (Subbottom Profilers)
  Pemetaan dasar laut (Sea bed Mapping)
  Pemetaan habitat dasar laut (Habitat Mapping)
  Pencarian kapal-kapal karam di dasar laut
  Penentuan jalur pipa dan kabel dibawah dasar laut
  Analisa dampak lingkungan di dasar laut


 
Gambar : Subbottom Profilers dan Pemetaan dasar laut

Sumber : itk.fpik.ipb 




Daftar Pustaka

1. Kinsler, Frey, Coppens, and Sanders, “Fundamental of Acoustics”, Wiley, New York, 1982. (Buku Teks)            
2. Robert J. Urick, “Principles of Underwater Sound”, Peninsula Publishing, California, 1983.     
3. Robert J. Urick, “Sound Propagation in the Sea”, Peninsula Publishing, California, 1983           

SISTEM PENGELOLAAN PELABUHAN PERIKANAN




Secara  umum kita telah mengetahui apa itu pelabuhan perikanan, tetapi untuk urusan siapa dan bagaimana sistem pengelolaan di pelabuhan itu sendiri  masih banyak para nelayan yang kurang tahu.

Pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan(DKP) biasanya dalam mengelola TPI(Tempat Pelelangan Ikan) menunjuk atau memilih koperasi yang benar-benar berdedikasi dalam mengurus TPI untuk selanjutnya diberikan izin dalam hal pengelolaan TPI baik itu dari penyediaan sarana dan prasarana maupun dalam hal pengelolaan dana TPI. Koperasi dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan kesepakatan dan izin yang telah diberikan oleh pemerintah, sebagai contoh dalam hal penentuan harga ikan, retribusi, keamanan, jaminan kesehatan, dan kebijakan subsidi dalam musim paceklik( biasanya musim barat yang gelombang dan anginnya kencang kira-kira bulan 12 - bulan 2).

Koperasi memperoleh masukan dana lewat retribusi dan potongan biaya perawatan dan pengelolaan TPI untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam hal menunjang kemajuan TPI itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber masukan utama di koperasi ialah dana pengelolaan yang berasal dari nelayan karena mereka telah memakai TPI. Sedangkan punggutan yang harus mereka setor ke pemerintah adalah dana retribusi yang berdasarkan perda daerah masing-masing, sebagai contoh di Pelabuhan Karangsong Indramayu setiap kali pelelangan nelayan dikenai retribusi (potongan wajib karena telah memakai fasilitas Pelabuhan), yaitu sebesar 2% dari nelayan dan 3% dari pembeli yang kemudian akan disetor ke pemerintah setiap 1 bulan sekali.  Selain biaya potongan tersebut nelayan juga dikenakan potongan dari koperasi yang mengelola TPI tersebut baik itu dana kesehatan, simpanan paceklik, ataupun yang lain yang kurang lebih kalau ditotal potongan keseluruhan dari nelayan adalah 5%(termasuk retribusi). 

Pertanyaannya: Sudah tepat kah penggunaan dan pengawasan dana dari nelayan tersebut untuk kesejahteraan nelayan ?

Dan taukah kalau sebenarnya salah satu subangan dana yang besar ke pemerintah adalah berasal dari pelabuhan-pelabuhan yang sebagian besar nelayannya memilki kapasitas melaut kurang lebih 40 hari atau dari kapal-kapal dengan ukuran 20 GT keatas.
Sebagai contoh di TPI Karangsong dana masukan ke pemerintah dapat mencapai  ratusan juta per bulan(Sumber PKL dari penulis), belum daerah yang lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kelautan memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan kedepannya... termasuk kerwirausahaan dalam hal penyediaan kapal tangkap bagi nelayan akan terus jadi peluang bisnis bagi pemilik modal atau juragan.

Koreksinya, pemerintah seharusnya benar-benar menjamin dan mendukung lagi program-program kesejahteraan bagi nelayan kecil( nahkoda, ABK kapal, dan nelayan perahu kecil) seperti memberlakukan adanya Jamsostek bagi nelayan, peningkatan pelayanan keselamatan, perbaikan subsidi paceklik dan lain-lain yang dapat memberikan jaminan yang bermutu bagi nelayan guna mendukung kemajuan kelautan dan perikanan Indonesia.








PPN UNTIA MAKASSAR JADI DIBANGUN

MAKASSAR, FAJAR -- Menteri Kelautan dan Perikanan, Syarip Cicip Sutardjo dijadwalkan akan mengunjungi lokasi Pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Sabtu 4 Februari.

Dari kunjungan tersebut, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), juga akan menyuntik PPN Untia sebesar Rp15 miliar.

"KKP akan menyuntik dana segar sebesar Rp15 miliar untuk PPN Untia," ungkap Kabid Kelautan Pesisir dan Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, Miftahuddin, Rabu, 1 Februari. (kas-amr) 

PETAKA BIRAHI TUNA

Petaka birahi ikan tuna menjadi salah satu bagian tersulit untuk diatasi dalam program riset budidaya ikan konsumsi paling bernilai ekonomi ini. Sepasang tuna yang birahi senantiasa kejar-kejaran dan kerap berubah menjadi petaka ketika menabrak dinding bak beton hingga mati.

Kesulitan itulah yang dihadapi Balai Riset Perikanan Budidaya Laut pada Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pantai Gondol, Buleleng, Bali.

Sejak 2003, para periset di balai tersebut mengadakan riset pembenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares).

”Pembenihan ikan tuna sangat penting karena eksploitasinya berlebihan. Ini terlihat dari bobot tangkapan ikan tuna yang semakin merosot,” kata Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut I Nyoman Adiasmara Giri, Kamis (22/7).

Giri ketika itu menerima kunjungan sejumlah wartawan yang sedang meliput rangkaian konferensi Asosiasi Biologi Tropika dan Konservasi (ATBC) di Bali, 20-23 Juli 2010. Giri menunjukkan salah satu kegiatan riset pembenihan ikan tuna.

Sebanyak 30 ikan tuna dengan bobot sampai 70 kilogram dan berusia sekitar tiga tahun ditampung di bak beton berbentuk silinder.

Volume bak air laut itu sekitar 1.500 meter kubik, berdiameter 12 meter dengan kedalaman 8 meter.
Bangunan itu hibah dari Jepang dalam program Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) 2001-2005. Menurut peneliti senior Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gede Suwarthama Sumiarsa, Jepang memulai riset budidaya ikan tuna sejak 40 tahun lalu.

”Jepang sudah berhasil membudidayakan sampai generasi ikan tuna memperoleh cucu. Namun, Jepang tetap menutup rahasia keberhasilan budidayanya kepada kami,” kata Gede.

Kesulitan mengatasi matinya ikan-ikan tuna akibat menabrak dinding bak masih dilengkapi dengan kegagalan membesarkan larva ikan tuna.

45 hari
Membesarkan larva ikan tuna merupakan kesulitan tersendiri. Para periset baru bisa mempertahankan hidup anak ikan tuna tersebut maksimal hanya sampai 45 hari.

”Kami memproyeksikan pada 2014-2015 berhasil mengatasi masalah ini,” kata Giri.

Sesuai siklus musim kawin, menurut Giri, semestinya sekitar Agustus menjadi musim kawin ikan tuna. Para periset akan terus mengawasi melalui kaca transparan di salah satu sisi dinding bak tersebut.

”Jika pemijahan terjadi, telur-telur akan mengapung. Dalam waktu sekitar 18 jam akan segera menetas,” kata Giri.

Telur-telur ikan tuna yang mengapung segera ditampung ke dalam bak terpisah berukuran 200 liter. Bak itu dilengkapi dengan peralatan aerasi dan dijaga temperatur alaminya 27 sampai 28 derajat celsius.

”Selama ini penyebab kematiannya akibat serangan virus Viral Nervous Necrosis (VNN),” kata Giri.

Gejala umum akibat serangan virus tersebut adalah kehilangan nafsu makan. Virus VNN juga paling banyak menyerang benih ikan kerapu.

Kemampuan menangani benih ikan tuna berbeda dengan ikan kerapu. Ini ditunjukkan dengan keberhasilan balai riset di Bali utara itu hingga kini sudah berhasil membenihkan ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) untuk dibudidayakan secara komersial.

Pada 2009, benih kerapu sunu atau kerapu bebek berhasil diekspor hingga mencapai 3.200 ekor, sedangkan untuk domestik mencapai 4.200 ekor.

Tidak hanya kerapu, keberhasilan pembenihan ternyata juga pada banyak komoditas lain, meliputi kerang abalone (Haliotis squamata), tiram mutiara (Pinctada maxima), kakap merah (Lutjanus sebae), ikan golden trevally (Gnathanodons specious Forsskall), kepiting bakau (Scyila paramamosain), rajungan (Portunus pelagicus), capungan banggai (Pterapogon kauderni), dan juga ikan hias nemo atau clown fish (Amphiprion ocellaris).

Sekarang, keberhasilan pembenihan ikan tuna masih ditunggu. Tentu pula keberhasilan menanggulangi petaka birahi bagi ikan-ikan tuna supaya tidak lagi celaka menabrak dinding bak.