Kamis, 02 Februari 2012

PETAKA BIRAHI TUNA

Petaka birahi ikan tuna menjadi salah satu bagian tersulit untuk diatasi dalam program riset budidaya ikan konsumsi paling bernilai ekonomi ini. Sepasang tuna yang birahi senantiasa kejar-kejaran dan kerap berubah menjadi petaka ketika menabrak dinding bak beton hingga mati.

Kesulitan itulah yang dihadapi Balai Riset Perikanan Budidaya Laut pada Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pantai Gondol, Buleleng, Bali.

Sejak 2003, para periset di balai tersebut mengadakan riset pembenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares).

”Pembenihan ikan tuna sangat penting karena eksploitasinya berlebihan. Ini terlihat dari bobot tangkapan ikan tuna yang semakin merosot,” kata Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut I Nyoman Adiasmara Giri, Kamis (22/7).

Giri ketika itu menerima kunjungan sejumlah wartawan yang sedang meliput rangkaian konferensi Asosiasi Biologi Tropika dan Konservasi (ATBC) di Bali, 20-23 Juli 2010. Giri menunjukkan salah satu kegiatan riset pembenihan ikan tuna.

Sebanyak 30 ikan tuna dengan bobot sampai 70 kilogram dan berusia sekitar tiga tahun ditampung di bak beton berbentuk silinder.

Volume bak air laut itu sekitar 1.500 meter kubik, berdiameter 12 meter dengan kedalaman 8 meter.
Bangunan itu hibah dari Jepang dalam program Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) 2001-2005. Menurut peneliti senior Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gede Suwarthama Sumiarsa, Jepang memulai riset budidaya ikan tuna sejak 40 tahun lalu.

”Jepang sudah berhasil membudidayakan sampai generasi ikan tuna memperoleh cucu. Namun, Jepang tetap menutup rahasia keberhasilan budidayanya kepada kami,” kata Gede.

Kesulitan mengatasi matinya ikan-ikan tuna akibat menabrak dinding bak masih dilengkapi dengan kegagalan membesarkan larva ikan tuna.

45 hari
Membesarkan larva ikan tuna merupakan kesulitan tersendiri. Para periset baru bisa mempertahankan hidup anak ikan tuna tersebut maksimal hanya sampai 45 hari.

”Kami memproyeksikan pada 2014-2015 berhasil mengatasi masalah ini,” kata Giri.

Sesuai siklus musim kawin, menurut Giri, semestinya sekitar Agustus menjadi musim kawin ikan tuna. Para periset akan terus mengawasi melalui kaca transparan di salah satu sisi dinding bak tersebut.

”Jika pemijahan terjadi, telur-telur akan mengapung. Dalam waktu sekitar 18 jam akan segera menetas,” kata Giri.

Telur-telur ikan tuna yang mengapung segera ditampung ke dalam bak terpisah berukuran 200 liter. Bak itu dilengkapi dengan peralatan aerasi dan dijaga temperatur alaminya 27 sampai 28 derajat celsius.

”Selama ini penyebab kematiannya akibat serangan virus Viral Nervous Necrosis (VNN),” kata Giri.

Gejala umum akibat serangan virus tersebut adalah kehilangan nafsu makan. Virus VNN juga paling banyak menyerang benih ikan kerapu.

Kemampuan menangani benih ikan tuna berbeda dengan ikan kerapu. Ini ditunjukkan dengan keberhasilan balai riset di Bali utara itu hingga kini sudah berhasil membenihkan ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) untuk dibudidayakan secara komersial.

Pada 2009, benih kerapu sunu atau kerapu bebek berhasil diekspor hingga mencapai 3.200 ekor, sedangkan untuk domestik mencapai 4.200 ekor.

Tidak hanya kerapu, keberhasilan pembenihan ternyata juga pada banyak komoditas lain, meliputi kerang abalone (Haliotis squamata), tiram mutiara (Pinctada maxima), kakap merah (Lutjanus sebae), ikan golden trevally (Gnathanodons specious Forsskall), kepiting bakau (Scyila paramamosain), rajungan (Portunus pelagicus), capungan banggai (Pterapogon kauderni), dan juga ikan hias nemo atau clown fish (Amphiprion ocellaris).

Sekarang, keberhasilan pembenihan ikan tuna masih ditunggu. Tentu pula keberhasilan menanggulangi petaka birahi bagi ikan-ikan tuna supaya tidak lagi celaka menabrak dinding bak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar